Newsletter

       
                                                                                                               Edisi 29 / Maret 2007

JETRO Menerbitkan Hasil Survey tentang Perusahaan Jepang di Luar Negeri


Japan External Trade Organization (JETRO) menerbitkan hasil survey tahunan mengenai perusahaan Jepang di luar negeri. Survey yang dilaksanakan pada bulan November dan Desember 2006 menerima jawaban dari 729 perusahaan atau 28,7% dari 2539 perusahaan yang dikirimi angket. Perusahaan tersebut ditanyai tentang kegiatannya di luar maupun di dalam negeri Jepang, rencananya untuk memperluas bisnisnya di Cina, tentang iklim usaha di Asia, FTA (Kawasan Perdagangan Bebas) di kawasan Asia Pasifik (termasuk ASEAN, Australia, Cina, Jepang, India, Selandia Baru, dan Republik Korea), serta tentang peraturan mengenai asal produk.

Menurut hasil survey, perusahaan Jepang mengharapkan penjualan dan keuntungan mencapai 20% di dalam negeri dan 30% di luar negeri Jepang dalam kurun waktu 2005 – 2010, atau lebih tinggi dari besaran 20% yang diharapkan terjadi di pasar Amerika dan Eropa.

Atas pertanyaan tentang perluasan bisnis ke luar negeri Jepang, 65,4% responden merencanakan perluasan untuk tiga tahun mendatang, hampir sesuai dengan figure tahun lalu yang sebesar 65,6%. Berdasarkan negara/kawasan dan fungsi (operasi penjualan, produksi, penelitian dan pengembangan, dll), India dan Vietnam menempati tingkat lebih tinggi dalam kategori operasi penjualan, menujukkan bahwa lebih banyak perusahaan bermaksud memperluas usahanya di pasar-pasar yang sedang tumbuh. Minat memperluas operasi penjualan di India dan Vietnam tumbuh dalam tahun ke dua menunjukkan kuatnya pertumbuhan ekonomi dan perluasan pasar di kedua negara tersebut.

Berkaitan dengan pengaturan kembali (pemindahan penuh atas basis produksi dan pemindahan sebagian atas barang-barang produksi dan/atau fungsi-fungsi produksi) atas basis produksi di Jepang dan/atau di luar negeri Jepang dan fungsi-fungsinya dalam kurun tiga tahun terahir atau tiga tahun mendatang, kepindahan yang dapat dicatat meliputi: dari Jepang ke Cina, dari Jepang ke Thailand, dan dari Cina ke Vietnam. Pemindahan dari Cina ke Vietnam ditandai dengan kenyataan “naiknya biaya produksi dan upah kerja” serta “tingginya resiko penempatan semua fungsi di tempat yang sama”, karena perusahaan mengadopsi strategi “Cina plus Satu” (misalnya, berinvestasi di Cina dan di negara lainnya guna mengurangi ketergantungan terhadap Cina).
Menurut survey, Cina menempati tingkat tertinggi atas semua fungsi dalam kategori perluasan bisnis. Meskipun masih tinggi, presentasi responden yang berencana memperluas produksi barang menengah sampai rendah menurun pada tahun kedua berikutnya (turun 3,1 poin dalam survey terahir), menunjukkan perubahan iklim usaha di Cina, seperti meningkatnya upah kerja dan perhatian terhadap dampak dari pengurangan tingkat pegembalian atas pajak pertambahan nilai yang dikenakan terhadap beberapa barang.
Thailand menempati urutan kedua untuk perluasan produksi atas atas kategori barang menengah-bawah dan barang tingkat tinggi, sebagai akibat pengurangan atas hampir semua fungsi; produksi barang kategori menengah-bawah turun 2,7 poin dari figure survey 2005. Memperhatikan perubahan politik di Thailand pada September 2006, mayoritas perusahaan yang berbisnis atau merencanakan berbisnis di Thailand (total 430 perusahaan) memperlihatkan “tidak berdampak pada perencanaan bisnis”, sementara itu, 27,7% menyatakan “sedikit berdampak terhadap perencanaan bisnis namun akan lebih diwaspadai pada waktu yang akan datang”. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak responden terpengaruh dengan adanya perubahan politik tersebut.

Mengenai faktor resiko berbisnis di/dengan negara-negara ASIA utama (Cina, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam), “sistem legalisasi terbelakang dan permasalahan dengan prosedur legalisasi”, “permasalahan dengan perlindungan hak intelektual/cipta” dan “perihal perpajakan” , menunjukkan resiko tertinggi bagi kalangan perusahaan yang berbisnis di/dengan Cina.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa perusahaan Jepang menyadari betul tentang resiko sekitar sistem legalisasi di Cina, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hak cipta dan perpajakan. Resiko dari “infrastruktur terbelakang” menempati tingkat tertinggi bagi perusahaan yang berbisnis di/dengan India dan Vietnam. Apabila menelaah hambatan ke depan – terutama karena infrastruktur yang buruk atau kurang, khususnya mengenai kelistrikan dan bidang logistik – perusahan menunjukkan ketertarikan yang meningkat terhadap negara-negara ini. Resiko dari “tingginya/meningkatnya upah kerja” menunjukkan tingkat tertinggi bagi perusahaan yang berbisnis di/dengan Singapura, diikuti dengan di Cina, Thailand, dan Malaysia.

Survey juga memperlihatkan bahwa 13,3% responden “memanfaatkan atau berencana memanfaatkan skema preferensi tarif” dibawah FTA (termasuk skema perolehan cepat) yang telah berlaku di kawasan Asia Pasifik. Namun mayoritas perusahaan (42,7%) tidak memanfaatkan atau tidak berencana memanfaatkan skema semacam itu pada waktu mendatang; lebih dari sepertiga responden (34,2%) belum menentukan apa-apa, dan ini menunjukkan bahwa keuntungan atas FTA belum diketahui khalayak secara luas.

Berkaitan dengan FTA di kawasan Asia Pasifik, hasil survey menyatakan tiga hal yakni: 1) AFTA paling termanfaatkan karena mencakup kawasan ASEAN, sementara itu perusahaan Jepang telah membentuk jaringan produksi dan perolehan pasokan; 2) perusahaan-perusahaan tengah bersemangat memanfaatkan skema-skema FTA Jepang-Malaysia yang baru diperkenalkan (Juli 2006); 3) Thailand, basis penting bagi perusahaan Jepang akan menjadi basis ekspor bagi sejumlah perusahaan yang mengirimkan barangnya ke luar kawasan ASEAN karena perusahaan makin memanfaatkan FTA Thailand dengan negara-negara seperti India dan Australia. FTA Thailand-India dan Thailand-Australia menempati tingkat yang tinggi dimanfaatkan oleh perusahaan, ini menunjukkan bahwa perusahaan Jepang menaruh harapan yang besar tidak hanya terhadap FTA ASEAN+3 namun juga FTA ASEAN+6 (including India, Australia, dan Selandia Baru).

Business Matching Database (TTPP), Melakukan kemitraan bisnis secara online melalui layanan JETRO


Database tentang kemitraan bisnis secara online yang tersedia gratis, memungkinkan perusahaan dan perorangan diseluruh dunia melakukan kemitraan bisnis melalui 40,000 lebih usulan dan/atau proposal bisnis. TTPP menjangkau mitra bisnis potensial di Jepang dan dunia internasional. Daftarkan perusahaan anda dan sampaikan proposal bisnis anda melalui TTPP https://www3.jetro.go.jp/ttppoas/index.html

TTPP juga dapat diakses melalui website KADIN Indonesia www.kadin-indonesia.or.id (klik pada bagian “temu usaha”).

Aturan Hak Cipta
Hak Cipta © 2007 JETRO Jakarta
Hak Cipta sepenuhnya. Tidak ada bagian dari laporan ini yang boleh direproduksi, atau ditransmisi dalam bentuk apapun atau dengan cara apapun seperti secara elektronik atau mekanik, termasuk fotokopi, rekaman, dan fotokopi mikro, atau melalui sistem penyimpanan dan panggilan tertentu, tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Penerbit
JETRO Jakarta Center
Summitmas I, 6th Floor Jl. Jend. Sudirman Kav.61-62 Jakarta, Indonesia
Tel: (62-21) 520 0264     Faks: (62-21) 520 0261
E-mail:jkt@jetro.or.id     Website: https://www.jetro.go.jp/indonesia